Menentukan Lokasi Budidaya Ikan Lele



Ikan lele sebenarnya hampir dapat dibudidayakan di mana saja, namun untuk menghasilkan produksi yang optimal maka dibutuhkan lokasi yang tepat. Lokasi yang cocok dapat memberikan hasil yang optimal. Daerah yang cocok untuk pembesaran ikan belum tentu cocok untuk usaha pembenihan.

Sebelum menentukan lokasi yang akan digunakan untuk budidaya lele, sebaiknya kita mencari lingkungan yang cocok untuk ikan tersebut penilaian lokasi dapat dilakukan melalui pendekatan teknis dan non-teknis.

1. Faktor teknis


Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menentukan lokasi yang berhubungan dengan faktor teknis, antara lain:

a. Ketinggian lokasi. Lele lebih menyukai tempat yang mempunyai ketinggian 0-800 meter di atas permukaan air laut (dpl), bahkan dapat hidup lebih tinggi dari 800 m dpl. Pada ketinggian 0-800 m dpl, pertumbuhan lele lebih optimal.
b. Sumber air. Lokasi hendaknya dekat dengan sumber air. Air yang disukai adalah yang agak tenang dan tidak berlumpur, tidak tercemar limbah atau dekat dengan sumber limbah pencemaran. Sumber air harus memenuhi syarat secara kuantitas maupun kualitas.
c. Keberadaan bibit. Di lokasi itu dapat dengan mudah diperoleh bibit (induk/benih).

2. Faktor non-teknis


Faktor non-teknis yang ikut andil pada keberhasilan budidaya lele antara lain:

a. Sarana transportasi. Lokasi sebaiknya mudah dijangkau sarana transportasi, termasuk kendaraan roda empat.
b. Hama. Lokasi sebaiknya tidak mudah dijangkau oleh hama.
c. Keamanan. Lingkungan budidaya harus aman dari pencurian.
d. Struktur tanah. Tanah yang stabil lebih baik karena tidak mudah mengalami pergerakan atau pergeseran. Dasar kolam yang rata dan halus lebih disenangi.
e. Sarana penerangan. Sumber penerangan dan tenaga listrik mudah didapat.
f. Pencemaran. Budidaya tidak mengganggu penduduk dan mencemari lingkungan.

3. Faktor kimia-fisika


Pada budidaya lele jarang sekali dilakukan pengukuran kondisi lingkungan secara rutin. Itu karena lele merupakan salah satu jenis ikan yang tahan terhadap lingkungan air yang kadar oksigennya cukup rendah. Oleh sebab itu para pembudidaya merasa aman dengan kondisi yang ada. Namun demikian ada baiknya untuk meningkatkan kehati-hatian untuk mendapatkan produk yang optimal. Pengukuran parameter lingkungan ada yang dilakukan secara harian dan ada yang mingguan.

a. Suhu

Suhu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan lele adalah 24-28oC, rata-rata suhu harian di daerah tropis 24-33oC. Suhu relatif baik untuk pemijahan 28oC, sedang penetasan 32oC. Yang harus diperhatikan pada budidaya adalah besarnya perbedaan suhu antara siang dan malam, atau suhu ekstrem. Perubahan suhu jangan sampai lebih dari 5oC. Perubahan suhu lebih besar dari 5oC dapat mengganggu metabolisme dan fisiologis ikan.

Suhu air berpengaruh terhadap proses metabolisme lele. Pada suhu rendah, proses pencernaan makanan berlangsung lambat. Perubahan suhu yang drastis dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan karena perubahan nafsu makan lele. Di perairan tropis, perubahan yang cukup mencolok terjadi pada perairan-perairan dangkal. Oleh karena itu perairan yang dangkal tidak baik untuk budidaya ikan.

b. Oksigen

Kandungan oksigen terlarut di perairan untuk lele dewasa tidak begitu menjadi masalah karena lele relatif tahan untuk hidup di air dengan kandungan oksigen rendah. Namun hal itu tidak berlaku pada tempat penetasan dan larva. Mereka membutuhkan oksigen yang cukup. Kandungan oksigen yang cukup mampu memberikan kesuburan pada suatu perairan sehingga menjadi kaya akan zat renik. Kandungan oksigen yang lazim pada suatu perairan adalah 4-6 ppm. Konsentrasi oksigen terlarut 5 mg/liter merupakan kandungan oksigen yang baik.

Kekurangan oksigen dapat mengakibatkan kematian pada larva lele. Hal itu dapat dikenali dari terjadinya kematian massal pada waktu hampir bersamaan. Kadar oksigen terlarut yang rendah juga menyebabkan penurunan daya hidup dan nafsu makan lele, di samping menurunkan metabolisme tubuh lele. Secara alami oksigen masuk ke perairan melalui difusi langsung dari udara, hujan, proses fotosintesis tumbuhan di dalam air, dan melalui aliran air yang masuk. Pengukuran kandungan oksigen dapat dilakukan dengan tetrasi atau DO meter.

c. Derajat keasaman

Pada usaha pemijahan dan pendederan, derajat keasaman perlu terus dipantau. Telur dan larva rentan terhadap goncangan keasaman perairan. Derajat keasaman yang dapat ditoleransi lele dumbo berkisar 5-9,5, dengan kondisi ideal 6,5-8,5. pH yang terlalu asam <4 atau terlalu basa >9 akan merusak telur dan menghambat pertumbuhan larva. Perubahan pH yang mendadak hingga 4,6 dapat menyebabkan kematian lele. pH perairan dipengaruhi oleh komposisi kimiawi air dan aktivitas biologis yang berlangsung di dalamnya.

pH perairan berhubungan erat dengan kandungan CO2. Bila kadar CO2 tinggi maka pH akan menjadi rendah, bersifat asam. Kadar CO2 sangat dipenagruhi dengan proses perombakan bahan-bahan organik dan jasad renik, pernafasan hewan air dan respirasi tanaman air pada malam hari. Kandungan CO2 yang baik untuk lele adalah 2-5 ppm, walau hingga <12 ppm lele dumbo masih dapat hidup.

Air hujan yang lebat dapat mengganggu larva karena air hujan bersifat asam akibat kontak dengan CO2 dan senyawa sulfur alami di udara. Sulfur dioksida, nitrogen oksida dan hasil emisi industri lainnya akan meningkatkan keasaman air hujan. Pengukuran derajat keasaman dilakukan dengan kertas lakmus atau pH tester. Pengukuran dapat dilakukan sehari dua kali, pagi dan sore.

d. Kecerahan

Kecerahan perairan yang digunakan untuk pembenihan lele dumbo perlu diperhatikan. Air kolam penetasan dan pembesaran larva memerlukan kejernihan yang cukup. Air yang keruh dapat merusak telur, menyebabkan telur menjadi busuk karena kekurangan oksigen. Pandangan mata dan pernafasan larva dapat terganggu karenanya. Kecerahan air relatif baik berkisar antara 30-40 cm, di mana pada kedalaman tersebut perbedaan warna suatu benda masih dapat terlihat.

Tingkat kecerahan berdasarkan kedalaman air
Kedalaman Air (cm)
Keterangan
<25
Keruh, disebabkan plankton atau partikel tanah
25-50
Subur, jumlah plankton cukup
>50
Miskin, plankton sedikit
 


e. Kimia perairan berbahaya (NH3, H2S dan nitrit)

NH3, H2S dan nitrit merupakan unsur kimia perairan yang berbahaya bagi budidaya ikan, termasuk lele. Keberadaan zat tersebut yang melampaui ambang batas dapat menyebabkan kematian massal. NH3 merupakan produk akhir katabolisme protein yang diekskresikan ke luar tubuh lele melalui insang dan kulit. NH3 merupakan bentuk amonia bebas (tidak terionisasi) dan bersifat sangat toksik. Amonia bersifat basa lemah. Kenaikan suhu dan pH akan meningkatkan kandungannya. Peningkatan kadar amonia terutama berasal dari pemberian pakan yang berlebihan yang berakibat pada meningkatnya ekskresi amonia oleh lele. Penyebab lainnya adalah populasi bakteri dekomposer yang tidak memadai. Selain makanan, pupuk nitrogen juga berpengaruh pada kandungan NH3. Kandungan NH3 di atas 0,02 mg/liter sebaiknya dihindari.

Hidrogen sulfida (H2S) merupakan senyawa yang mematikan bagi lele. H2S terbentuk secara anaerobik sebagai hasil dekomposisi materi organik yang mengandung S (sulfat) pada sedimen perairan. H2S dalam bentuk tidak terdisosiasi pada konsentrasi 0,01-0,05 mg/liter dapat menyebabkan kematian lele. Kematian massal pada lele sering terjadi karena kadar oksigen rendah dan H2S tinggi. Hal ini sering terjadi pada pemeliharaan lele di perairan umum (rawa, waduk, danau) yang dalam kondisi tertentu mengalami pengadukan (up welling). H2S dari hasil dekomposisi bahan organik akan naik dan meracuni pernafasan lele yang kemudian mengakibatkan kematian massal. Kondisi ini terjadi pada musim kering hingga musim hujan tiba.

Nitrit (NO2) merupakan sisa hasil metabolisme protein ikan. Pada dasarnya sisa metabolisme berupa amonia, yang selanjutnya akan dioksidasi oleh Nitrosomonas menjadi nitrit. Nitrobacter akan mengoksidasinya menjadi nitrat. Apabila kondisi tertentu nitrit tidak dapat diubah menjadi nitrat maka akan terjadi akumulasi nitrit yang dapat menjadi racun bagi ikan. Kandungan nitrit dengan konsentrasi 0,5 mg/liter telah bersifat toksik bagi ikan. Nitrit yang masuk ke dalam darah melalui saluran pernafasan akan mengoksidasi hemoglobin menjadi methamoglobin yang mengganggu teransportasi oksigen. Kondisi ini akan menyebabkan ikan stres respirasi.

2 komentar:

  1. Terimakasih infonya, jangan lupa kunjungi website kami https://bit.ly/2MnNWVl

    BalasHapus
  2. thank nice infonya, silahkan kunjungi balik ebsite kami http://bit.ly/2xJx72a

    BalasHapus